BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tenaga kerja adalah pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi baik secara individu maupun secara kelompok, sehingga mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam aktivitas perekonomian nasional, yaitu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, tenaga kerja sebagai salah satu penggerak tata kehidupan ekonomi dan merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup melimpah. Indikasi ini bisa dilihat pada masih tingginya jumlah pengangguran di Indonesia serta rendahnya atau minimnya kesempatan kerja yang disediakan.
Indonesia adalah masyarakat yang tengah mengalami transformasi struktural yaitu dari masyarakat yang berbasis pertanian ke basis industri. Perubahan tersebut mengalami akselerasi, yaitu sejak penggunaan teknologi makin menjadi modus andalan untuk menyelesaikan permasalahan, sehingga mobilitas tenaga kerja tidak hanya perpindahan dari desa ke kota saja hal ini bisa dimengerti karena pertumbuhan industri lebih kuat berada diperkotaan dan semakin dirasakan penghasilan yang didapat lebih memadai sehingga lebih lanjut menunjukkan adanya tenaga kerja telah melintas antar negara. Banyak hal yang mempengaruhi terjadinya migrasi antar negara, namun faktor ekonomi tetap tampak dominan.
Aspek hukum ketenagakerjaan, harus selaras dengan perkembangan ketenagakerjaan saat ini yang sudah sedemikian pesat, sehingga substansi kajian hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja kerja semata, akan tetapi telah bergeser menjadi hubungan hukum antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang substansi kajian tidak hanya mengatur hubungan hukum dalam hubungan kerja (during employment), tetapi setelah hubungan kerja (post employment). Konsepsi ketenagakerjaan inilah yang dijadikan acuan untuk mengkaji perangkat hukum yang ada sekarang, apakah sudah meliputi bidang - bidang tersebut atau belum.
Contoh nyata yang bisa diambil sekarang, yaitu para tenaga kerja Indonesia yang berkerja di luar negeri (TKI). Untuk memperkecil problema yang dihadapi para tenaga kerja di luar negeri serta melindungi harkat dan martabat tenaga kerja tersebut maka pengaturan tentang penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dalam Undang-undang No. 39 Tahun 2004 merupakan jalan keluar.
Tujuan
Berdasarkan uraian diatas maka tujuan yang ingin diperoleh dari penulisan makalah ini adalah:
- Untuk mengetahui aspek-aspek hukum yang melindungi para tenaga kerja
- Untuk mengetahui ruang lingkup hukum yang berlaku bagi para tenaga kerja
- Mengetahui perkembangan hukum tentang ketenagakerjaan
- Sebagai syarat (tugas) kelulusan mata kuliah Hukum Perburuhan
Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah “ Aspek Hukum Ketenagakerjaan Dalam Hubungan Kerja ” ini adalah dengan cara pedekatan pustaka saja (pengambilan data-data dari Internet).
BAB II
PENJELASAN
- Hukum Ketenagakerjaan Pada Umumnya
Pengertian hukum ketenagakerjaan sangat tergantung pada hukum positif masing-masing negara. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau definisi mengenai hukum perburuhan (ketenagakerjaan) yang dikemukakan oleh para ahli hukum juga berlainan, terutama yang menyangkut keluasannya. Hal ini mengingat keluasan cakupan hukum perburuhan (ketenagakerjaan) di masing-masing negara juga berlainan. Disamping itu, perbedaan sudut pandang juga menyebabkan para ahli hukum memberikan definisi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) yang berbeda pula. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) oleh beberapa ahli.
NEH van Esveld sebagaimana dikutip Iman Soepomo menegaskan hukum perburuhan (ketenagakerjaan) meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri. Dengan definisi seperti ini berarti yang dimaksudkan dengan hukum perburuhan (ketenagakerjaan) tidak saja hukum yang bersangkutan dengan hubungan kerja, melainkan juga hukum yang bersangkutan dengan pekerjaan di luar hubungan kerja. Misalnya seorang dokter yang mengobati pasiennya, seorang pengacara yang membela kliennya, atau seorang pelukis yang menerima pesanan lukisan.
Sementara itu Molenaar menegaskan bahwa hukum perburuhan (ketenagakerjaan) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa. Definisi ini lebih menunjukkan pada latar belakang lahirnya hukum perburuhan (ketenagakerjaan). Sebab, pada mulanya selain mengenai perbudakan, baik orang yang bekerja maupun pemberi kerja bebas untuk menentukan syarat - syarat kerja, baik mengenai jam kerja, upah, jaminan sosial dan lainnya. Para pihak benar-benar bebas untuk membuat kesepakatan mengenai hal - hal tersebut. Kenyataannya orang yang bekerja (yang kemudian dalam hukum perburuhan (ketenagakerjaan) disebut buruh/pekerja) sebagai orang yang hanya mempunyai tenaga berada dalam kedudukan yang lemah, sebagai akibat lemahnya ekonomi mereka. Dalam kedudukan yang demikian ini sulit diharapkan mereka akan mampu melakukan bargaining power menghadapi pemberi kerja (yang kemudian dalam hukum ketenagakerjaan disebut majikan/pengusaha). Oleh karena itu, hadirlah pihak ketiga, yakni penguasa (pemerintah) untuk melindungi orang yang bekerja. Hal –hal yang disebutkan inilah yang merupakan embrio hukum perburuhan (ketenagakerjaan). Seberapa jauh campur tangan pihak penguasa inilah yang ikut menentukan keluasan batasan hukum perburuhan.
Di Indonesia peraturan mengenai Upah Minimum Regional/Upah Minimum Kabupaten merupakan contoh campur tangan pemerintah dalam melindungi buruh. Soetiksno, salah seorang ahli hukum Indonesia, memberikan definisi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) sebagai berikut :
“Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan (perintah) orang lain dan keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja tersebut”.
Dengan definisi tersebut paling tidak ada dua hal yang hendak dicakup yaitu:
- Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) hanya mengenai kerja sebagai akibat adanya hubungan kerja. Berarti kerja di bawah pimpinan orang lain. Dengan demikian hukum perburuhan (ketenagakerjaan) tidak mencakup:
b. kerja yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang didasarkan atas kesukarelaan,
c. kerja seorang pengurus atau wakil suatu perkumpulan.
- Peraturan - peraturan tentang keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja, diantaranya adalah :
b. Peraturan-peraturan tentang keadaan hamil dan melahirkan anak bagi buruh/pekerja wanita,
c. Peraturan-peraturan tentang pengangguran,
d. Peraturan-peraturan tentang organisasi-organisasi buruh/pekerja atau majikan/pengusaha dan tentang hubungannya satu sama lain dan hubungannya dengan pihak pemerintah dan sebagainya.
Iman Soepomo yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai guru besar hukum perburuhan (ketenagakerjaan) Fakultas Hukum Universitas Indonesia memberikan definisi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) sebagai berikut :
“Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah”.
Mengkaji pengertian di atas, pengertian yang diberikan oleh Iman Soepomo tampak jelas bahwa hukum perburuhan (ketenagakerjaan) setidak-tidaknya mengandung unsur :
- Himpunan peraturan (baik tertulis dan tidak tertulis).
- Berkenaan dengan suatu kejadian/peristiwa.
- Seseorang bekerja pada orang lain.
- Upah.
Dari unsur-unsur di atas, jelaslah bahwa substansi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) hanya menyangkut peraturan yang mengatur hubungan hukum seorang yang disebut buruh pekerja pada orang lain yang disebut majikan (bersifat keperdataan), jadi tidak mengatur hubungan hukum di luar hubungan kerja. Konsep ini sesuai dengan pengertian buruh/pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 butir 3 Undang - undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang - undang Ketenagakerjaan) disebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Batasan pengertian buruh/pekerja tersebut telah mengilhami para penulis sampai sekarang dalam memberikan batasan hukum perburuhan (ketenagakerjaan). Saat ini kondisinya telah berubah dengan intervensi pemerintah yang sangat besar dalam bidang perburuhan, sehingga kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah demikian luas tidak hanya aspek hukum yang berhubungan dengan hubungan kerja saja, tetapi sebelum dan sesudah hubungan kerja. Konsep ini secara jelas diakomodasi dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2. Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan
Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) merupakan spesies dari genus hukum umumnya. Berbicara tentang batasan pengertian hukum, hingga saat ini para ahli belum menemukan batasan yang baku serta memuaskan semua pihak tentang hukum, disebabkan karena hukum itu sendiri mempunyai bentuk serta segi yang sangat beragam. Ahli hukum berkebangsaan Belanda, J. van Kan, sebagaimana dikutip oleh Lalu Gusni, mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
Pendapat lainnya menyatakan bahwa hukum adalah serangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang - orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan dan ketertiban dalam masyarakat. Selain itu, menyebutkan 9 (sembilan) arti hukum yakni :
- Ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran,
- Disiplin, yakni sebagai sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala - gejala yang dihadapi,
- Norma, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan,
- Tata hukum, yakni struktur dan perangkat norma - norma yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis,
- Petugas, yakni pribadi - pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law inforcement officer),
- Keputusan penguasa, yakni hasil - hasil proses diskripsi,
- Proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik antara unsur - unsur pokok dari sistem kenegaraan,
- Sikap tindak yang ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang -ulang dengan cara yang sama yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan
- Jalinan nilai, yakni jalinan dari konsepsi tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Pendapat di atas menunjukkan bahwa hukum itu mempunyai makna yang sangat luas, namun demikian secara umum, hukum dapat dilihat sebagai norma yang mengandung nilai tertentu. Jika hukum dalam kajian ini dibatasi sebagai norma, tidak berarti hukum identik dengan norma, sebab norma merupakan pedoman manusia dalam bertingkah laku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa norma hukum merupakan salah satu dari sekian banyak pedoman tingkah laku selain norma agama, kesopanan dan kesusilaan.
Dengan adanya batasan pengertian hukum perburuhan (ketenagakerjaan) yang telah disebutkan di atas, saat ini kondisinya telah berubah dengan intervensi pemerintah yang sangat besar dalam bidang perburuhan/ketenagakerjaan, sehingga kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah demikian luas tidak hanya aspek hukum yang berhubungan dengan hubungan kerja saja, tetapi sebelum dan sesudah hubungan kerja. Konsep ini secara jelas diakomodasi dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang - undang No. 13 Tahun 2003 telah disesuaikan dengan perkembangan reformasi, khususnya yang menyangkut hak berserikat/berorganisasi, penyelesaian perselisihan indutrial. Dalam undang – undang ketenagakerjaan ini tidak lagi ditemukan istilah buruh dan majikan, tapi telah diganti dengan istilah pekerja dan pengusaha.
Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Ketenagakerjaan adalah segala hal ikhwal hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah melakukan pekerjaan. Berdasarkan pengertian Ketenagakerjaan tersebut dapat dirumuskan pengertian Hukum Ketenagakerjaan adalah segala peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama ini dikenal sebelumnya yang ruang lingkupnya hanya berkenaan dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam hubungan kerja saja.
3. Perkembangan Hukum Tentang Tenaga Kerja
Dalam membicarakan perkembangan hukum tentang tenaga kerja (hukum perburuhan) khususnya di Indonesia, uraian mengenai pertumbuhan dan perkembangannya tidak semata-mata dari undang-undang dan peraturan lainnya mengenai perburuhan (tenaga kerja). Hukum perburuhan yang ada pada masa itu adalah hukum perburuhan asli Indonesia, yaitu hukum perburuhan adat dan hukum perburuhan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hukum perburuhan adat sebagaimana hukum adat bidang-bidang lain, merupakan hukum tidak tertulis. Hukum perburuhan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagian besar merupakan hukum tertulis.
Hukum perburuhan adat yang karena bentuknya tidak tertulis, maka perkembangannya sulit diuraikan dengan penandaan tahun atau bulan. Pada kenyataannya pada masa sebelum Pemerintah Hindia Belanda, sudah ada orang yang memiliki budak. Kenyataan ini memberikan indikator kepada kita, bahwa ada orang yang memberikan pekerjaan, memimpin pekerjaan, meminta pekerja dan ada orang yang melakukan pekerjaan. Meskipun secara hukum, budak bukan merupakan subyek hukum, melainkan obyek hukum, namun faktanya budak melakukan sesuatu (pekerjaan) sebagaimana layaknya subyek hukum.
Budak mempunyai kewajiban melakukan pekerjaan sesuai dengan perintah pemilik budak. Pemilik budak mempunyai hak untuk menerima pekerjaan, mengatur pekerjaan dan lain sebagainya. Akan tetapi pemilik budak ini sama sekali tidak ada kewajiban yang sesungguhnya. Yang ada adalah “kewajibanmoral” karena kebaikan hati saja, seperti memberi makan, memberi pakaian dan perumahan (tempat tinggal) kepada budak. Meskipun pemberian itu pada akhirnya juga untuk pemilik budak sendiri, karena tanpa pemberian tersebut budak tidak dapat melakukan pekerjaan yang diberikan pemilik budak.
Peraturan perundang-undangan yang ada, dari jaman Hindia Belanda sampai era reformasi sekarang ini sebenarnya sudah menyiapkan perangkat hukum yang mengatur mengenai kemungkinan menuju kehidupan ketenagakerjaan yang serasi dan seimbang, yaitu:
1) Undang-undang pada zaman Hindia Belanda; Pada abad ke 19 Pemerintah Hindia Belanda mulai ikut campur dalam mengatur masalah budak, meskipun dalam hal yang terbatas, misalnya :
- Peraturan tentang pendaftaran budak (1819),
- Peraturan tentang pajak atas pemilikan budak (1820),
- Peraturan tentang larangan mengangkut budak yang masih anak-anak (1892), dan beberapa peraturan lainnya,
- Pada tahun 1954, perbudakan dinyatakan dilarang;
- Regeringsreglement Pasal 115 sampai dengan Pasal 117 yang kemudian menjadi Pasal 169 sampai dengan Pasal 171 Indische Staatsregeling dengan tegas menetapkan bahwa paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Indonesia (Hindia Belanda) harus dihapuskan.
- Selama dalam proses penghapusan perbudakan tersebut, oleh Pemerintah Hindia Belanda juga dikeluarkan beberapa peraturan mengenai perburuhan, baik peraturan yang khusus mengatur tentang masalah perburuhan maupun peraturan bidang lain, tetapi di dalamnya terdapat peraturan tentang perburuhan, misalnya Koeli ordonanties.
- Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Hukum Dagang), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 (Staatblad 1847 nomor 13) dan dengan Staatblad 1879 nomor 256 yang mulai berlaku 21 Agustus 1879, Pasal 1601 sampai dengan 1603 (lama) Burgerlijk Wetboek diberlakukan terhadap golongan bukan Eropa;
Pada awal abad ke 20 dikeluarkan peraturan-peraturan yang pada dasarnya mencontoh peraturan-peraturan yang berlaku di negeri Belanda, misalnya :
- Veiligheids Reglement,
- Reglement Stoomketels,
- Mijnwetgeving,
- Peraturan tentang pembatasan kerja anak-anak dan wanita di waktu malam (Staatblad 1925 nomor 647),
- Peraturan tentang ganti kerugian bagi buruh yang mendapat kecelakaan (Ongevallen Regeling tahun 1939),
- Peraturan tentang ganti kerugian bagi pelaut yang mendapat kecelakaan (Schepen Ongevallenregelin tahun 1940),
- Peraturan yang membatasi tenaga kerja asing (Crisis Ordonantie Vreemdelingenarbeid Staatsblad tahun 1935 nomor 426 juncto Staatsblad tahun 1940 nomor 573),
- Peraturan mengenai pengawasan khusus terhadap hubunganhubungan hukum antara majikan dengan buruh (hubungan kerja), yaitu Bijzondertoezicht op de rechtsverhoudingan tussen wergevers en aebeiders, Staatsblad tahun 1940 nomor 569, yang berlaku surut mulai 10 Mei 1940.
- Undang-undang Gangguan Tahun 1927.
2) Undang-undang Dasar 1945, yaitu :
Pasal 27 ayat (2), yang berbunyi : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Pasal 33 :
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3) Undang-undang No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan;
4) Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
5) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
6) Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
7) Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
8) Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri
9) Konvensi I.L.O No. 120 Mengenai Higene Dalam Perniagaan dan Kantor-kantor;
10) Peraturan perundang-undangan lainnya yang meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (Internasional Labour Organization).
4. Hukum Perundangan Tentang Tenaga Kerja
Sudah banyak hukum perundang-undangan yang mengatur tenaga kerja (buruh) yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, sampai dengan yang terakhir yaitu Undang - undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Namun demikian dalam pengaturan tentang buruh atau tenaga kerja dipelukan adanya sumber hukum. Sumber hukum adalah segala sesuatu di mana kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan mengenai soal-soal perburuhan atau ketenagakerjaan. Sumber hukum dapat dibedakan menjadi :
- Sumber hukum materiel
- Sumber hukum formil
1) Perundang – Undangan
Dimaksud dengan perundang - undangan adalah karena yang akan ditunjuk adalah undang - undang maupun peraturan lain di bawah undangundang. Undang-undang adalah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Di samping itu juga ada Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang yang mempunyai kedudukan sama dengan undang-undang. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini ditetapkan Presiden, dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa. Peraturan tersebut harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut. Pasal II Aturan Peralihan Undang -undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa semua peraturan yang berlaku sebelum kemerdekaan Indonesia masih tetap berlaku sebelum diadakan peraturan yang baru. Negara Indonesia, atas dasar pertimbangan mencegah adanya kekosongan hukum, mengakui masih berlakunya peraturan-peraturan dari zaman Hindia Belanda.
Di antara peraturan-peraturan tersebut yang kedudukannya dapat disamakan dengan undang - undang, adalah :
• Wet.
• Algemeen Maatregel van Bestuur.
• Ordonnantie.
Sedangkan peraturan-peraturan yang kedudukannya di bawah undang - undang, namun dpat disebut sebagai undang - undang, yakni undangundang dalam arti materiel, yaitu :
- Regeeringsverordening.
- Regeeringsbesluit.
- Hoofd van de Afdeeling van Arbeid.
Peraturan-peraturan yang kedudukannya lebih rendah dari undang - undang dan pada umumnya merupakan peraturan pelaksanaan undang - undang adalah Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1953 tentang kewajiban melaporkan perusahaan, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1954 tentang cara membuat dan mengatur perjanjian perburuhan, Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 9 Tahun 1964 tentang penetapan besarnya uang pesangon, Keputusan Presiden yang sifatnya mengatur, misalnya Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1953 tentang aturan hari libur, serta Peraturan atau Keputusan dari Instansi lain.
2) Kebiasaan
Sudah banyak ditinggalkan paham yang mengatakan bahwa satusatunya sumber hukum hanyalah undang-undang, karena kenyataannya tidak mungkin mengatur masyarakat yang kompleks dalam suatu undang-undang yang sifatnya statis, di pihak lain perubahan perkembangan kehidupan masyarakat yang sangat cepat.
Dalam bidang ketenagakerjaan, di samping undang-undang ada hukum yang berkembang yang mengatur hubungan-hubungan tertentu. Hukum yang berkembang di masyarakat ini disebut hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Berkembangnya hukum kebiasaan dalam bidang ketenagakerjaan di Indonesia, menurut Abdul Rachmad Budiono adalah karena :
- Perkembangan masalah-masalah perburuhan jauh lebih cepat dari perundang-undangan yang ada;
- Banyak peraturan yang berasal dari Pemerintah Hindia Belanda sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan perburuhan setelah Indonesia merdeka.
3) Keputusan
Keputusan sebagai sumber hukum ketenagakerjaan, yang sangat besar peranannya adalah Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, baik tingkat daerah maupun tingkat pusat.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan sebagai suatu arbitrase wajib (compulsory arbitration), sifatnya mengikat, seringkali memuat aturan-aturan yang ditetapkan atas kuasa dan tanggungjawab sendiri, serta menetapkan apa yang sebenarnya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan, bukan mengatur sesuatu yang seharusnya berlaku seperti pada peraturan umumnya. Tidak jarang, Panitia ini melakukan interpretation (penafsiran) hukum, atau bahkan melakukan rechtvinding (menemukan hukum).
Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan mempunyai pengaruh besar, karena putusan ini mempunyai sanksi pidana, di samping mempunyai sanksi perdata. Hal ini tercantum dalam Pasal 26 Undang-undang No. 22 Tahun 1957, yaitu dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah, barangsiapa tidak tunduk pada putusan Panitia Pusat yang dapat mulai dilaksanakan termaksud pada Pasal 13.
Setelah berlakunya Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perslisihan Hubungan Industrial maka penyelesaian perselisihan diperiksa dan diputus oleh Hakim pada Pengadilan Penyelesaian Hubungan Industrial (PPHI).
4) Traktat
Traktat (treaty) adalah perjanjian internasional mengenai soal perburuhan antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain. Umumnya perjanjian internasional memuat peraturan-peraturan hukum yang mengikat secara umum. Sesuai dengan asas “pacta sunt servanda”, maka masing-masing negara sebagai rechtpersoon (publik) terikat oleh perjanjian yang dibuatnya.
Di dalam hukum internasional ada suatu pranata yang semacam traktat, yaitu convention (konvensi). Pada umum konvensi ini merupakan rencana perjanjian internasional di bidang perburuhan yang ditetapkan oleh Konperensi Internasional ILO (International Labour Organization). Meskipun Indonesia sebagai anggota ILO, namun tidak secara otomatis convention tersebut mengikat Indonesia. Supaya mengikat, maka convention tersebut harus diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Pada saat ini ada tiga konvensi yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu :
- Convention Nomor 98 tentang berlakunya dasar-dasar hak untuk berorganisasi dan untuk berunding, yakni dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1956.
- Convention Nomor 100 tentang pengupahan yang sama bagi buruh laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, yakni Undang-undang No. 80 Tahun 1957.
- Convention Nomor 120 tentang Hygiene dalam perniagaan dan kantor-kantor, yakni Undang-undang No. 3 Tahun 1969.
5) Perjanjian
Perjanjian yang merupakan sumber hukum perburuhan adalah :
i. Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja, sebagaimana perjanjian lainnya, hanya mengikat pihak-pihak yang ada dalam perjanjian tersebut, yaitu majikan dan buruh. Meskipun isi perjanjian kerja itu beragam, namun dijumpai hal-hal yang sama yaitu tentang cara dan bentuk pengupahan. Dari berbagai perjanjian kerja, kita dapat mengetahui tentang apa yang lazimnya dilakukan oleh anggota masyarakat, berarti apa yang hidup di dalam masyarakat.
ii. Perjanjian Perburuhan.
Perjanjian perburuhan dapat dirumuskan sebagai suatu perjanjian antara serikat buruh dengan majikan mengenai syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja. Sebagai sumber hukum, perjanjian perburuhan lebih berperan daripada perjanjian kerja. Semakin banyak serikat kerja dan serikat (perkumpulan majikan, maka akan lebih banyak pihak yang terikat oleh klausula-klausula dalam perjanjian perburuhan tersebut. Iman Soepomo menegaskan bahwa kadang-kadang perjanjian perburuhan mempunyai kekuatan hukum sebagai undang-undang.
5. Fungsi Hukum Ketenagakerjaan
Secara umum, hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum imperatif (dwingend recht atau hukum memaksa) dan hukum fakultatif (regelend recht atau aanvulend recht atau hukum tambahan). Menurut Budiono Abdul Rachmad, bahwa hukum imperatif adalah hukum yang harus ditaati secara mutlak, sedangkan hukum fakultatif adalah hukum yang dapat dikesampingkan (biasanya menurut perjanjian).
Dari segi ini, yakni sifatnya, sebagian besar hukum perburuhan bersifat imperatif. Kenyataan ini sesuai dengan fungsi dan tujuan hukum perburuhan, yaitu :
- Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan;
- Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha, misalnya dengan membuat atau mnciptakan peraturanperaturan yang sifatnya memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap para tenaga kerja sebagai pihak yang lemah.
Tanpa hukum yang bersifat imperatif, yang biasanya dinyatakan dengan perkataan harus, wajib, tidak boleh, tidak dapat, dilarang, maka tujuan tersebut sulit untuk dicapai. Sebagai contoh hukum perburuhan yang bersifat imperative dapat disebutkan sebagai berikut:Kadang-kadang juga sulit menyertakan sanksi terhadap keharusanatau larangan yang terdapat dalam hukum perburuhan, misalnya : di dalam Pasal 399 Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) ditegaskan bahwa perjanjian kerja antara pengusaha dengan seorang buruh yang berlaku sebagai nakhoda atau perwira kapal harus dibuat secara tertulis, dengan ancaman kebatalan. Dari klausula ini dapa diartikan bahwa jika perjanjian kerja antara pengusaha dengan nakhoda atau perwira kapal dibuat tidak tertulis, maka perjanjian kerja tersebut batal demi hukum.
Tujuan diadakannya keharusan bentuk tertulis untuk perjanjian kerja yang demikian itu (sering disebut perjanjian kerja di laut) adalah supaya hak buruh terlindungi sebab ada kepastian hukum. Akan tetapi sesungguhnya ancaman kebatalan tersebut berlebihan, sebab dalam keadaan tertentu justru merugikan nakhoda atau perwira kapal yang bersangkutan. Misalkan seorang pemilik kapal mengadakan perjanjian kerja dengan seorang nakhoda secara lisan. Si nakhoda sudah berlayar beberapa bulan, kalau ternyata perjanjian kerjanya batal, maka si nakhoda tidak pernah berkedudukan sebagai buruh. Artinya ia tidak memperoleh perlindungan dari hukum perburuhan. Meskipun dalam Pasal 402 KUHD kedudukan nakhoda yang sudah terlanjur bekerja tersebut dijamin dalam hal keuangan, yakni ia diberikan ganti kerugian yang besarnya sama dengan upah yang lazim untuk pekerjaan yang telah dilakukan, tetapi ganti kerugian tidak mempunyai hak preferensi (hak untuk didahulukan pembayarannya) sebagaimana upah. Selain bersifat hukum imperatif dan hukum fakultatif, hukum ketenagakerjaan juga bersifat privat (perdata) dan bersifat publik.
Dikatakan bersifat privat (perdata) oleh karena sebagaimana kita ketahui bahwa hukum perdata mengatur kepentingan orang perorangan, dalam hal ini antara tenaga kerja dan pengusaha, yaitu di mana mereka mengadakan suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian kerja. Sedangkan mengenai hukum perjanjian sendiri diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku ke III. Di samping bersifat perdata, juga bersifat publik (pidana), oleh karena :
- Dalam hal-hal tertentu negara atau pemerintah turut campur tangan dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya dalam masalah pemutusan hubungan kerja, dalam masalah upah dan lain sebagainya.
- Adanya sanksi-sanksi atau aturan-aturan hukum di dalam setiap undangundang atau peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Di samping keharusan atau kewajiban dengan ancaman kebatalan, ada pula keharusan atau kewajiban dalam hukum perburuhan dengan ancaman pidana, misalnya :
- Ancaman pidana terdapat di dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1992. Dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
- Kemudian di dalam Pasal 29 ayat (1) ditegaskan bahwa barangsiapa tidak memenuhi kewajiban dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ancaman pidana yang tertuang di dalam pasal ini sangatlah tepat, sebab akan membantu keefektifan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang kepada pengusaha.
Hukum perburuhan yang bersifat fakultatif adalah Pasal 1602k yang berbunyi : Jika tempat pembayaran upah tidak ditetapkan dalam persetujuan atau reglemen atau oleh kebiasaan, maka pembayaran itu harus dilakukan, baik di tempat di mana pekerjaan lazimnya dilakukan, maupun di kantornya si majikan, jika kantor itu terletak di tempat di mana tinggal jumlah terbanyak dari para buruh, ataupun di rumah si buruh, satu dan lain terserah majikan. Inti yang hendak ditunjuk oleh pasal ini adalah sebagai berikut :
- Majikan dan buruh bebas menjanjikan tempat dilakukannya pembayaran upah;
- Jika mereka tidak menjanjikannya, maka tempat dilakukannya pembayaran upah adalah tempat yang disebutkan oleh pasal tersebut. Artinya pasal tersebut dapat disimpangi dengan perjanjian.
Ketentuan seperti ini tidak banyak di dalam hukum perburuhan. Adanya undang-undang dan Peraturan Pemerintah lainnya dalam praktek ketenagakerjaan adalah kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Atas kekuatan undang-undanglah pejabat-pejabat Departemen Tenaga Kerja atau Departemen Kesehatan, serta pejabat lainnya yang terkait dapat melakukan pengawasan dan memaksakan segala sesuatunya yang diatur oleh Undangundang atau peraturan-peraturan itu kepada perusahaan-perusahaan. Apabila peringatan tidak dihiraukan, maka atas kekuatan undang-undang pula diterapkan sangsi-sangsi menurut undang-undang pula. Sesuai dengan tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan adalah mengadakan perlindungan terhadap tenaga kerja, maka sifat aturan-aturan dalam undang-undang tersebut adalah memaksa dengan ancaman pidana.
Dalam pasal 5 dan pasal 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi kepada setiap tenaga kerja (tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan) untuk memperoleh pekerjaan, dan memberikan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi kepada pekerja.
Pasal 108 undang-undang tersebut mewajibkan bahwa setiap pekerja mempunyai hak untuk memperleh perlindungan atas : keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Di samping itu dalam Pasal 109 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan dan untuk itu pemerintah menetapkan perlindungan pengupahan bagi pekerja. Dalam Pasal 116 undang-undang tersebut diatur tentang kesejahteraan, di mana untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarganya, pengusaha menyediakan fasilitas kesejahteraan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja dan kemampuan perusahaan. Juga setiap tenaga kerja dan keluarganya berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang diatur dalam Pasal 117 undang-undang tersebut. Perlindungan yang lain, khususnya terhadap tenaga kerja perempuan diatur dalam Pasal 104, 105, 106 dan 107 Undang-undang No. 25 Tahun 1997, yaitu tentang cuti haid, kesempatan menyusui bayinya, cuti hamil dan cuti melahirkan, cuti gugur kandungan, penyediaan fasilitas untuk menyusui bayinya serta larangan untuk mempekerjakan pekerja pada hari-hari libur resmi.
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan penjagaan agar buruh (tenaga kerja) melakukan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan tidak hanyaditujukan terhadap pihak majikan yang hendak memeras tenaga buruh, tetapi juga ditujukan terhadap buruh itu sendiri, dimana dan bilamana buruh misalnya hendak memboroskan tenaganya dengan tidak mengindahkan kekuatan jasmani dan rohaninya.
Dari literatur-literatur yang ada, maupun peraturan-perauran yang telah dibuat oleh banyak negara, keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk:
- perlindungan bagi buruh terhadap pemerasan (ekploitasi) tenaga buruh oleh majikan, misalnya untuk mendapat tenaga yang murah, mempekerjakan budak, pekerja rodi, anak dan wanita untuk pekerjaan yang berat dan untuk waktu yang tidak terbatas;
- memperingankan pekerjaan yang dilakukan oleh para budak dan para pekerja rodi (perundangan yang pertama-tama diadakan di Indonesia);
- membatasi waktu kerja bagi anak sampai 12 jam ( di Inggris, tahun 1802, The Health and Morals of Apprentices Act).
Keselamatan dan kesehatan kerja dapat dibedakan antara perlindungan terhadap pemerasan sebagai perlindungan sosial, dengan kesehatan kerja dan perlindungan terhadap bahaya kecelakaan sebagai perlindungan teknis atau keamanan kerja (safety). Perlindungan terhadap pemerasan sebagai perlindungan sosial meliputi : kesempatan dan perlakuan yang sama terhadap pekerja, perlindungan terhadap pekerja anak, orang muda dan perempuan, perlindungan terhadap waktu kerja dan waktu istirahat bagi pekerja, perlindungan atas moral, kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama, perlindungan terhadap pengupahan dan jaminan sosial tenaga kerja. Perlindungan terhadap bahaya kecelakaan sebagai perlindungan teknis atau keamanan kerja meliputi : perlindungan terhadap kecelakaan kerja (keselamatan kerja), perlindungan terhadap kesehatan kerja, perlindungan terhadap hygiene perusahaan.
Pihak – pihak Dalam Hubungan Ketenagakerjaan
Dalam praktik sehari-hari ada beberapa kelompok yang terkait sehubungan dengan Ketenagakerjaan. Kelompok tersebut adalah Pekerja, Pengusaha, Organisasi Pekerja, Organisasi Pengusaha dan Pemerintah. Untuk mengetahui masing-masing kelompok tersebut, di bawah ini secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
- Pekerja / buruh / karyawan
- Pengusaha/Majikan
- Organisasi Pekerja/Buruh
- Organisasi Pengusaha
- Pemerintah/Penguasa
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penulisan dan pembahasan terhadap pokok permasalahan dalam makalah ini, maka diambil kesimpulan bahwa agar tercipta hubungan kerja yang baik maka masing-masing pihak harus mematuhi dan memahami hukum yang berlaku dalam hubungan kerja, baik itu sebagai perkerja (buruh) atau pengusaha (Majikan). Dan tidak melewati batasan-batasan yang ada, dengan memperhatikan harkat dan martabat tetap terjaga dan tidak ada saling memandang sebelah mata, akan tetapi ada rasa saling ketergantungan dan saling membutuhkan diantara satu dengan yang lainnya.
Pengawasan pemerintah/penguasa dalam hubungan kerja antara para pekerja (buruh) dan pengusaha (majikan) sangatlah penting. Dalam hal ini, apabila terjadi perselisihan atau kesalah pahaman antara kedua pihak maka peran pemerintah/penguasa sangat dibutuhkan disini sebagai penengah. Dan pemerintah/penguasa diharapkan mampu bekerja dengan jujur, mengacu pada ketetapan-ketetapan atau hukum-hukum yang mengatur sebagai aspek hukum ketenagakerjaan dalam hubungan kerja untuk mengambil keputusan akhir yang adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar